Kamis, 05 November 2009

Urbanisasi Pasca Lebaran

Latar Belakang

Salah satu isu kependudukan yang penting dan mendesak untuk segera ditangani secara menyeluruh adalah urbanisasi. Meski harus diakui bahwa tidak ada negara di era industrialisasi dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang berarti tanpa adanya urbanisasi, namun tidak dapat dipungkiri pula urbanisasi dapat menciptakan masalah yang yang beragam.

Menurut wikipedia Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota, Pasca lebaran, grafik urbanisasi selali meningkat setiap tahunnya sehingga bisa menimbulkan pelonjakan penduduk dan beerbagai masalah lainnya. Namun urbanisasi juga bisa menimbulkan dampak yang positif. Atas dasar itulah, penulis ingin memaparkan ulasan mengenai urbanisasi, khususnya urbanisasi pasca Lebaran Idul fitri. Serta memaparkan solusi-solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak negatif dari urbanisasi.

1. Urbanisasi

1.1 Pengertian Urbanisasi

Secara umum, urbanisasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi Urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk, Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap.

1.2 Faktor-Faktor Urbanisasi

Dari pemantauan pemerintah ada dua arus besar menjadi pendorong urbanisasi, yang pertama adalah tahun kelulusan siswa/mahasiswa dari studinya. Arus pertama ini bagi pemerintah kota bukan ancaman serius, selain karena segi kuantitas tidak terlalu banyak, dilihat dari segi kualitas mayoritas adalah tenaga-tenaga terdidik yang potensial dan mempunyai prospek kerja (formal) cukup tinggi. Bahkan banyak yang memandang mereka akan membawa urbanisasi kearah positif untuk kemajuan kota. Arus yang kedua adalah di saat pasca lebaran. Arus inilah yang paling diantisipasi ekstra oleh pemerintah kota dan menjadi ancaman serius bagi mereka. Kebanyakan perantau baru dari arus balik lebaran ini datang dari wilayah miskin di Indonesia. Kebanyakan lagi dari mereka tidak mempunyai modal yang cukup mengarungi sengitnya persaingan kerja di kota. Dengan latar pendidikan minim, skill yang kurang, dan sumber daya finansial (modal dana) juga kurang memadai semakin mempersulit para migran urban meraih kesuksesan di kota

Urbanisasi dilakukan oleh penduduk di desa disebabkan oleh juga beberapa faktor lain. Yaitu faktor penarik dan faktor pendorong.

Faktor penarik urbanisasi antara lain adalah :

  1. Kehidupan kota yang lebih mewah
  2. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
  3. Banyak lapangan kerja di Kota
  4. Pengaruh buruk sinetron Indonesia
  5. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi yang jauh lebih baik dan berkualitas

Faktor penarik urbanisasi antara lain adalah :

  1. Lahan pertanian yang semakin sempit
  2. Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya
  3. Menganggur karena tidak banyak lapangan kerja di desa
  4. Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
  5. Diusir dari desa

1.3 Dampak Positif Urbanisasi

Tidak ada negara di era industrialisasi dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang berarti tanpa adanya urbanisasi. Urbanisasi pada tingkatan tertentu dari sisi ekonomi justru akan menguntungkan kota tujuan urbanisasi. Dalam teori umum semakin meningkat persentase penduduk suatu kota semakin meningkatkan produk domestik bruto dan capaian pembangunan manusia dari penduduk di kota itu.

1.4 Dampak Negatif Urbanisasi

· Terjadinya tingkat urbanisasi yang berlebihan, atau tidak terkendali, dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada penduduk itu sendiri. ukuran terkendali atau tidaknya proses urbanisasi biasanya dikenal dengan ukuran primacy rate, yang kurang lebih diartikan sebagai kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu negara atau wilayah terhadap kota-kota di sekitarnya. makin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang baik dalam proses urbanisasi.

· Banyak penduduk yang melakukan urbanisasi tidak memiliki skill,sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri atau lembaga yang ada.hal ini tentunya akan menimbulkan peningkatnya angka penganggura dikota dan hal ini tentunya akan memicu naiknya tingkat angka kemiskinan diperkotaan.

· Tidak adanya peraturan yang jelas yang mengatur masalah urbanisasi sehingga laju urbanisasi tidak terkendali dan penyebarannya pun tidak merata.selain itu kurangnya kontrol dan pengawasan dari pemerintah kota.

· Kemiskinan, pengangguran, pemukiman kumuh, banyaknya gepeng (gelandangan dan pengemis), tingkat kriminalitas tinggi adalah sebagian contoh akibat langsung maupun tidak langsung yang merupakan dampak negatif dari urbanisasi.

2. Urbanisasi Pasca Lebaran

2.1 Urbanisasi Pasca Lebaran

Arus balik lebaran selalu identik dengan pendatang baru ke kota-kota besar seperti, Jakarta,Surabaya,Bali dan Batam. Meningkatnya jumlah pendatang baru ke kota besar,setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan. Hampir sebagian besar pendatang baru tersebut datang dengan alasan ingin mencari pekerjaan atau mengadu nasib dikota besar. Jakarta sebagai pusat perekonomian Indonesia,Bali sebagai daerah wisata,Surabaya dan Batam sebagai daerah industri,menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang tinggal didaerah untuk mencari pekerjaan disana. Walaupun mereka datang tanpa memiliki kemampuan atau keterampilan lebih,serta tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan,tetap tidak menyurutkan keinginan mereka untuk datang kekota. Mungkin hal ini disebabkan karena banyaknya alasan yang mengatakan bahwa penghasilan bekerja didaerah tidak sebesar penghasilan mereka yang bekerja dikota. Kebanyakan perantau baru dari arus balik lebaran ini datang dari wilayah miskin di Indonesia. Kebanyakan lagi dari mereka tidak mempunyai modal yang cukup mengarungi sengitnya persaingan kerja di kota. Dengan latar pendidikan minim, skill yang kurang mumpuni, dan sumber daya finansial (modal dana) juga kurang memadai semakin mempersulit para migran urban meraih kesuksesan di kota. Kalaupun ada yang sukses mungkin bisa dihitung dalam hitungan jari dibanding ratusan migran lainya. Itupun karena mereka mempunyai soft skill yang menunjang kerjanya seperti keuleten, pekerja yang keras, humanis dalam membangun jaringan, dan yang paling penting adalah kejujuran untuk membangun trustment.

urbanisasi yang terjadi sekarang ini sudah pada tingkatan tidak terkontrol, akibatnya urbanisasi tidak lagi menjadi faktor kemajuan kota. Bukti empiris menunjukkan hubungan antara urbanisasi dan kemajuan itu bisa terwujud jika urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol (UNDP, Human Development Report, 2005). Banyak faktor yang menyebabkan mengapa urbanisasi begitu tinggi hingga tak terkontrol. Salah satunya adalah dari peninggalan kebijakan jaman orde baru yang masih menyisakan masalah hingga dewasa ini. Paradigma sentralisasi pemerintahan dan pembangunan ekonomi terpusat adalah hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi dengan konsentrasi migrasi yang tidak sehat. Daerah kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah. Pemerintah pusat juga tidak mau memecah kosentrasi pembangunan ke daerah untuk pemerataan pembangunan. Yang terjadi sekarang ini adalah jomplangnya pembangunan satu daerah dengan daerah yang lain.

Selain itu jika kita flashback awal pemerintah orde baru saat itu terlalu berfokus pada pembangunan industri subtitusi import (manufactur) dengan mengabaikan sektor yang menjadi penghidupan mayoritas penduduk yakni sektor pertanian. Kalaupun sektor pertanian sempat dianggap maju dengan swasemba berasnya, tapi kemajuannya hanya berlangsung singkat, karena orientasi pembangunan pertanian saat itu berdasarkan paradigma industri subtitusi import (mencukupi pangan nasional), bukan pada pengembangan sumber daya pertanian dan keunggulan produk pertanian. Sektor pertanian sangat identik dengan kehidupan ekonomi desa. Jika sektor pertanian tidak berkembang maka ekonomi desa juga terkena dampak buruknya. Sektor pertanian yang tidak menjanjikan lagi dan lapangan perkejaan yang minim di desa, ditambah lagi rata-rata pendidikan yang rendah menjadi faktor pendorong masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi. Orde baru memang telah jatuh selama satu dekade terkahir, tapi sisa kebijakannya masih terasa sampai saat ini. Mindset masyarakat desa tentang urbanisasi sebagai peningkatan taraf hidup masih belum banyak berubah. Orde reformasi dengan otonomi daerahnya juga tidak mampu menjawab banyak untuk memajukan ekonomi desa, terbukti dengan masih tingginya urbanisasi. Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).

Karena tidak terkontrol nya tingkat urbanisasi alih-alih kemajuan yang didapatkan dari urbanisasi, justru urbanisasi malah jadi biang kerok berbagai permasalahan pelik kota. Kemiskinan, pengangguran, pemukiman kumuh, banyaknya gepeng (gelandangan dan pengemis), tingkat kriminalitas tinggi adalah sebagian contoh akibat langsung maupun tidak langsung dari urbanisasi.

2.3 Solusi Atas Permasalahan Urbanisasi

Melihat peningkatan arus urbanisasi tersebut dari tahun ke tahun, maka tahun ini beberapa pemerintah daerah mulai memperketat persyaratan administrasi kependudukan dengan mengeluarkan Perda atau kebijakan pemerintah dengan tujuan mengurangi serta menertibkan arus urbanisasi.

Cara pertama yang dilakukan oleh pemerintah daerah seperti penjagaan dipintu-pintu masuk pelabuhan atau stasiun kereta api,untuk melakukan razia terhadap pendatang baru.

Pemerintah juga mensosialisasikan mengenai persyaratan pindah dan kerja bagi pendatang baru. Bahkan Pemda DKI Jakarta juga telah mengeluarkan Perda yang memberikan ancaman pidana kurungan dan denda 5 juta bagi pendatang yang tidak memenuhi persyaratan pindah dan kerja tersebut.

Dengan semakin memperketat penjagaan terhadap jumlah pendatang baru tersebut,akankah dapat menyurutkan keinginan mereka yang ingin memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak serta lebih baik ? Inilah dilema yang dihadapi oleh pemerintah kita. Disatu sisi bahwa seperti bunyi pasal yang diatur dalam UUD 1945 bahwa “Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”,sedangkan di sisi lain juga pemerintah sedang berusaha untuk menata jumlah kependudukan didaerah agar tidak terjadi ketimpangan jumlah kepadatan penduduk.

Dalam mencari solusi permasalahan urbanisasi dapat dibagi menjadi dua jalan penyelesaian, yakni secara struktural sebagai prioritas utama dan secara kultural sebagai sarana pendukung/pelengkap.

Cara struktural seperti yang diajukan oleh Weller and Bouvier (1981), menyebutkan ada tiga alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi urbanisasi.

· Solusi pertama, melarang penduduk pindah ke kota. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah kota di indonesia dalam beberapa tahun terakhir, biasa disebut dengan operasi yustisi. Kebijakan ini dipandang terutama dari kalangan LSM terlalu otoriter dan berpotensi melanggar HAM. Pandangan ini ditentang oleh Direktur Eksekutif KP3I (Komite Pemantau Pemberdayaan Parlemen Indonesia) Tom Pasaribu dan menganggap operasi yustisi tidak melanggar HAM. Alasannya sangat logis karena memang sasaranya adalah orang-orang yang tidak jelas identitasnya dan berkeliaran di kota, jadi tidak ada pelanggaran HAM didalamnya. Kebijakan jangka pendek ini ternyata cukup efektif untuk sedikit menekan arus urbanisasi.

· Solusi kedua, menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota. Keseimbangan pembangunan itu bisa dicapai jika ada komitmen untuk melakukan pembangunan hampir semua sektor di pedesaan, seperti industri dan jasa. Selain itu, pemerintah perlu menata reforma agraria, memberdayakan masyarakat pedesaan dan membangun infrastruktur pedesaan. Setelah itu jangan sampai ada kesenjangan penghasilan yang tinggi antara desa dan kota. Bayangkan saja, dengan menjadi Pak Ogah (polisi cepek), pemulung, tukang semir sepatu, tukang parkir atau pengumpul barang bekas di Ibukota Jakarta atau di Surabaya, kaum migran memperoleh pendapatan sebesar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan penghasilannya di desa. Dengan adanya kesenjangan pendapatan itu, maka pilihan untuk berurbanisasi adalah hal yang rasional secara ekonomis bagi mereka.

· Solusi ketiga, mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik. Solusi kedua dan ketiga diatas termasuk penyelesaian dalam jangka panjang.

Cara penyelesaian kedua adalah dengan jalan kultural. Cara penyelesaian ini penting untuk didorong untuk mendukung sistem yang ada (supporting system). Intinya adalah bagaimana membangun budaya yang kondusif untuk mengatasi problematika masyrakat miskin desa. Beberapa hal salah satunya dengan menggali lagi local wisdom yang dimiliki dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Lokal wisdom dikebanyakan desa adalah rasa persaudaraan dan kebersamaan antar masyarakat. Dari sini akan melahirkkan budaya gotong royong termasuk juga dalam gotong royong dalam perekonomian. Ilustrasi simpel ketika ada warga yang mengalami kesulitan ekonomi atau kesulitan apapun, dengan rasa persaudaraan warga lain tidak akan sungkan untuk menolong warga yang mengalami kesulitan. Maka jika ini menjadi budaya yang masif, tentu permasalahan kemiskinan desa dapat ditekan. Yang kedua adalah membangun budaya yang respect terhadap kebijakan positif pemerintah. Dengan cara mensosialisasikan dan ikut menyukseskan kebijakan pemerintah tersebut. Apalagi kini ruang aspirasi desa sudah dibuka seluas-luasnya dalam era otonomi daerah. Dalam penyusunan anggaran contohnya pemerintah berusaha turun kedesa dan kecamatan untuk mendengarkan aspirasi secara langsung. Harusnya ini dapat dimanfaatkan masyarakat desa untuk menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di desanya.

Menjalankan berbagai solusi diatas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh banyak dukungan untuk menjalankannya, terutama yang paling ditunggu adalah kebijaksanaan pemerintah. Apakah cukup dengan kebijakan menutup lubang atau lebih hebat lagi setelah menutup lubang lalu dilapisi dengan beton agar tidak berlubang lagi? Operasi yustisi dengan orientasi jangka pendek haruslah di dibarengi dengan kebijakan jangka panjang, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan membangun kesejahteraan di desa-desa yang masih dilanda kemiskinan. Didukung dengan budaya masyarakat bergotong royong membangun perekonomian bersama, mungkin urbanisasi tidak akan menjadi ancaman bagi negara ini.

3. Penutup

3.1 Kesimpulan

Urbanisasi yang merupakan perpindahan masyarakat desa ke kota dapat menimbulkan dampak yang beragam. Jika arus Urbanisasi dapat terkontrol dengan baik, maka Urbanisasi dapat menghasilkan dampak yang positif, yaitu berupa laju pertumbuhan di kota tujuan urbanisasi. Namun jika laju urbanisasi tidak dapat terkontrol, maka berbagai masalah dapat timbul dan menyebabkan berbagai dampak negatif bagi kota tujuan urbanisasi seperti meningkatnya angka kemiskinan,meningkatnya angka kriminalitas, timbulnya rumah-rumah kumuh akibat sempitnya lahan untuk pemukiman penduduk, dan masalah-masalah lainnya.

3.2 Saran

Pemerintah kota-kota tujuan Urbanisasi, seperti Jakarta, Bandung, Bali, dll perlu mengadakan pengawasan yang ketat terhadap masuknya pendatang-pendatang baru ke kota tujuan organisasi tersebut. Pengawasan yang ketat ini dimaksudkan untuk menyaring para kaum urban yang masuk sehingga penduduk yang melakukan urbanisasi ke kota-kota tujuan tidak menimbulkan dampak negatif dari urbanisasi, sebaliknya malah menimbulkan dampak yang positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar